JURNAL ILMIAH DAN PENELITIAN

No.7 Volume II, Tahun 2011. [Klik Disini]

In Volume II on January 8, 2011 at 10:38 am

FORMULASI TEPUNG KOMPOSIT CAMPURAN TEPUNG TALAS, KACANG HIJAU DAN PISANG DALAM PEMBUATAN BROWNIES PANGGANG

Rd Rina Nur Apriani (1),   M. Arpah(1),   Setyadjit(2)

Abstract

Brownies are made from wheat flour, sugar, egg, fat and chocolate. Wheat flour in brownies formulation can be replaced with other flour which is made from indigenous resources. Four variants of taro var. Mentega from several areas in West Java are processed as flour and mixed with banana and mung bean flour to form composite flour. There are ten formulas of composite flour which are evaluated by sensory analysis to select the composite flour which is used as material in brownies formulation. The selected composite flour consists of 50% taro flour, 30% banana flour and 20% mung bean flour. In brownies formulation, the amount of sugar, composite flour and dark cooking chocolate are formulated to find the selected formula using hedonic test to result the final formula. Based on the test, formula A2 is selected as the final formula. This formula consists of 0.24% GMS, 0.36% baking powder, 7.32% milk powder, 84 g of composite flour, 234 g egg, 120 g sugar, 18 g cocoa powder, 120 g margarine and 30 g dark cooking chocolate

1)Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. 2) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor.

I. PENDAHULUAN

Kebutuhan akan pangan semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk. Berbagai jenis pangan diproduksi dengan meningkatkan kuantitas serta kualitasnya untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Selain dengan meningkatkan jumlahnya, pemenuhan kebutuhan pangan juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan sumber bahan pangan yang beraneka ragam. Hal ini dilakukan sebagai upaya diversifikasi pangan dengan memanfaatkan sumber daya pangan lokal.

Salah satu sumber daya pangan lokal yang dapat dijadikan alternatif usaha diversifikasi pangan adalah umbi talas (Colocasia esculenta). Produksi umbi talas di Bogor mencapai 57.311 ton pada tahun 2008 (Bappeda Bogor, 2008). Umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat yang penting sebagai penghasil energi di daerah tropis dan subtrobis (Liu et al., 2006 a).  Umbi talas merupakan bahan pangan yang rendah lemak, bebas gluten dan mudah dicerna.

Salah satu alternatif pemanfaatan tepung talas adalah sebagai bahan baku pembuatan brownies. Brownies merupakan produk bakeri yang termasuk dalam kategori cake (Widarti, 2005). Produk bakeri meliputi roti, cookies dan cake merupakan produk yang banyak dikonsumsi (Bakke dan Vickers, 2007). Brownies termasuk ke dalam cake dengan warna coklat kehitaman dan memiliki rasa khas dominan coklat. Produk ini termasuk sebagai intermediate-moisture foods dengan total kadar air lebih rendah 10-20% dari roti (Cauvain dan Young, 2006).

Penggunaan tepung talas sebagai bahan baku produk brownies dapat dikembangkan sehingga konsumsi tepung terigu dapat dikurangi.  Torres dan Pacheo-Delahaye (2007) di dalam Moreno-Alvarez et al. (2009) telah mengembangkan produk bakeri yang menggunakkan tepung substitusi. Penggunaan tepung non terigu juga  telah dilakukan untuk mengembangkan produk bakeri non gluten (Rakkar, 2007; McCarty et al., 2005). Dibutuhkan modifikasi dalam proses dan formulasi produk pangan yang mensubstitusi tepung terigu dengan bahan lain yang bersifat lokal.

Pemanfaatan tepung talas sebagai bahan baku dalam pembuatan brownies dapat dikombinasikan dengan tepung yang bersumber dari bahan lain sehingga menjadi tepung komposit. Kombinasi tersebut dilakukan untuk melengkapi kandungan gizi dari tepung talas sehingga memberikan nilai tambah untuk bahan tersebut. Kandungan protein dalam talas tergolong rendah, oleh karena itu diperlukan bahan lain yang digunakan untuk menambah kekurangan dari talas. Bahan yang digunakan adalah tepung pisang dan tepung kacang hijau.

Kacang hijau memiliki nilai protein yang tinggi (22,2%) dan kaya akan asam amino lisin sehingga dapat melengkapi kandungan nilai gizinya (Suprapto dan Sutarman, 1982). Protein yang terdapat pada kacang hijau memiliki daya cerna sebesar 81 (Anonimus, 1973).

Pisang mengandung karbohidrat yang mudah dicerna berupa gula sederhana (Simonds, 1966 di dalam Leki, 1982). Selain itu, pisang banyak mengandung komponen vitamin berupa vitamin A, B1 dan C (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, 1972).

II.  BAHAN DAN METODE

A. Bahan

Bahan baku produksi terdiri dari tepung talas varian Mentega, tepung pisang kepok dan tepung kacang hijau. Talas yang didapat berasal dari beberapa daerah sekitar Jawa Barat, sedangkan tepung pisang didapat dari UKM di Ciamis. Kacang hijau di dapat di toko perlengkapan kue. Komposisi bahan lain yang digunakan meliputi telur, margarin (Blue Band), gula halus, susu bubuk skim, dark cooking chocolate (Collata), cocoa powder (Van Houten), Emulsifier (Gliseril Monostearat), dan baking powder (Cap Koepoe-Koepoe). Bahan-bahan tersebut didapat dari toko perlengkapan kue. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk keperluan analisis antara lain adalah asam klorida, aseton, pankreatin, indikator PP, asam borat, asam sulfat (pa), pereaksi Cu-Nelson, buffer Na-phosphat, termamyl, larutan iod, natrium hidrodiksida (pa), asam borat (pa), asam klorida (pa), heksan (teknis), etanol (pa), kalsium karbonat (pa), timbal asetat (pa), natrium oksalat (pa) dan perkloric acid (pa) dan lain-lain. Bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis sebagian diperoleh dari toko kimia.

Alat untuk produksi yang digunakan diantaranya adalah timbangan, cetakan, oven, kompor, mixer dan perlengkapan lainnya. Sedangkan alat yang digunakan untuk keperluan analisis antara lain adalah timbangan analitik, cawan alumunium, cawan porselen, oven, tanur, desikator, labu lemak, soxhlet, corong buncher, alumunium foil, waterbath, spektrofotometer, vakum, kjeldahl, sentrifuse, crusibel, kertas saring, milipore selulosa asetat dan perlengkapan analisis berupa alat-alat gelas.

B.  Metode

1.  Komposisi Kimia Tepung Talas Mentega, K. Hijau dan Pisang

Hasil penepungan keempat tepung talas dianalisis secara kimia meliputi analisis analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidratnya. Untuk tepung talas Mentega dianalisis juga komponen oksalat yang terdapat di dalamnya.

2. Formulasi Tepung Komposit

Tepung talas terpilih dicampurkan dengan tepung pisang dan tepung kacang hijau dalam berbagai presentase. Formula yang diuji terdapat pada tabel 5. Terdapat 10 formula kombinasi antara tepung talas, tepung pisang dan tepung kacang hijau. Presentase tepung yang digunakan, diformulasikan berdasarkan trial and erorr. Tepung talas yang digunakan berkisar antara 50-90% yaitu 50%, 60%, 70%, 80% dan 90%. Sedangkan tepung pisang yang digunakan berkisar antara 5-35% yaitu 5%, 10%, 15%, 20%, 30% dan 35%. Presentase tepung kacang hijau yang digunakan berkisar antara 5-30% yaitu 5%, 10%, 15%,  20% dan 30%.

Pemilihan satu jenis tepung komposit terbaik dilakukan dengan aproksimasi komponen kimia tepung komposit dan evaluasi sensori. Evaluasi sensori yang dilakukan, menggunakan uji rangking hedonik terhadap parameter sensori produk. Uji ini dilakukan untuk mendapatkan satu formula yang paling disukai oleh konsumen berdasarkan parameter uji yang digunakan.

Tabel 5. Sepuluh formula tepung komposit yang diuji

Formula Komposisi tepung
Talas (%) Pisang (%) Kacang Hijau (%)
1 80 10 10
2 60 20 20
3 90 5 5
4 50 30 20
5 70 10 20
6 80 15 5
7 50 20 30
8 80 5 15
9 60 35 5
10 70 20 10

Parameter uji yang digunakan adalah warna, aroma, tekstur. Terdapat 30 orang panelis yang digunakan dalam uji tersebut. Panelis merangking formula dari yang paling disukai hingga paling tidak disukai berdasarkan parameter uji masing-masing. Angka terendah menunjukkan formula yang paling disukai sedangkan angka tertinggi menunjukkan formula yang paling tidak disukai.

3. Proses pembuatan Brownies

Proses pembuatan brownies dilakukan dengan pemanggangan menggunakan oven. Gambar 3 menunjukkan proses pembuatan brownies yang dilakukan.

Gambar 3.  Proses pembuatan brownies (Sulistiyo, 2006 dengan modifikasi)

Bahan kering berupa tepung komposit, gula, susu bubuk skim, cocoa powder, baking powder dan GMS dicampur hingga merata. Kemudian margarin dan dark cooking chocolate dikocok dengan mixer berkecepatan tinggi selama 1 menit (Bennion dan Bamford, 1979). Setelah itu, dimasukan telur satu per satu dan dikocok menggunakan speed tinggi selama 6 menit (Bennion dan Bamford, 1979). Kemudian, bahan kering dicampurkan ke dalam adonan tersebut hingga merata. Selanjutnya adonan dimasukan ke dalam loyang dan dipanaskan dengan oven bersuhu 150-1700 selama 30 menit (Sunaryo, 1985).

4.  Formulasi Brownies

Dilakukan formulasi terhadap jumlah tepung, dark cooking chocolate dan gula dalam formulasi brownies secara trial and erorr. Terdapat 4 formula yang diperoleh dari hasil trial and error dengan menggunakan ketiga variabel tersebut. Tabel 16 menunjukkan hasil rancangan formulasi brownies yang diperoleh dari hasil trial and erorr.

Empat formula yang didapatkan kemudian diujikan secara organoleptik kepada 30 orang panelis. Kemudian dipilih satu hasil terbaik menggunakan evaluasi sensori dengan uji rangking hedonik berdasarkan atribut warna, aroma, tekstur, rasa dan overall (keseluruhan) terhadap brownies yang dihasilkan.

Tabel 16. Formulasi brownies

Bahan A1 A2 A3 A4
Tepung Komposit (g) 90 84 96 112
Telur (g) 234 234 234 234
Gula (g) 120 120 108 108
Dark Cooking Chocolate (g) 24 30 30 24
Cocoa powder (g) 18 18 18 18
Margarin (g) 120 120 120 120

5. Perhitungan dan Analisis

a.   Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui, mengukur, menganalisis dan mengintrepretasikan atribut pangan melalui sensori manusia (Stone dan Sidel, 1993). Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji afektif secara kuantitatif yaitu uji rangking hedonik dan uji rating hedonik (uji penerimaan konsumen) (Meilgaard et al., 2007). Uji afektif ini dilakukan dengan menggunakan panelis tidak terlatih untuk mengevaluasi dan menentukan kesukaan terhadap produk.

Uji Rangking Hedonik

Uji rangking hedonik dilakukan untuk menentukan produk yang paling disukai.  Tahap penelitian yang menggunakan uji rangking hedonik adalah tahap formulasi tepung komposit dan formulasi brownies. Pada tahap formulasi tepung komposit, parameter sensori yang diuji adalah warna, rasa dan tekstur. Analisis organoleptik pada formulasi brownies meliputi parameter sensori rasa, aroma, warna dan tekstur. Uji ini dilakukan dengan menggunakan panelis semi-terlatih berjumlah 30 orang.

Pada tahap ini panelis diminta untuk mengurutkan sampel yang diuji menurut perbedaan tingkatan mutu sensori. Urutan pertama menyatakan sampel yang paling disukai sedangkan urutan terakhir merupakan sampel yang paling tidak disukai menurut kategori atribut masing-masing. Data yang didapatkan dari uji tersebut kemudian diolah dan ditranformasikan sehingga dapat dianalisis dengan uji Friedman untuk melihat perbedaan signifikan antar sampel yang diuji.

Uji Rating Hedonik

Uji rating hedonik atau uji penerimaan konsumen dilakukan untuk mengungkapkan tanggapan panelis terhadap parameter rasa, aroma, tekstur, warna dan penerimaan keseluruhan (overall) produk yang terpilih. Skala hedonik yang digunakan adalah 1-5 yaitu 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=netral, 4=suka, dan 5=sangat suka. Uji ini dilakukan pada produk akhir untuk melihat tingkat penerimaan panelis terhadap produk yang dihasilkan.

b.  Kadar Air (AOAC, 2005)

Sebanyak 1-2 g sampel ditimbang. Setelah itu dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC selama 3 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar air  =

Keterangan:

a= berat cawan dan sampel akhir (g)

b= berat cawan (g)

c= berat sampel awal (g)

c.  Kadar Abu (AOAC, 2005)

Sebanyak 2 – 3 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu  maksimum 550oC selama 4 – 6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat konstan. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar abu  =

d.  Kadar Lemak (AOAC, 2005)

Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 1-2 g, kemudian dibungkus dengan selongsong kertas saring yang dilapisi dengan kapas dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet), yang telah berisi pelarut (dietil eter atau heksana).

Refluks dilakukan selama 6 jam (minimum) pada suhu 800C. Setelah itu pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Kadar lemak (%)  =

e.  Kadar Protein (AOAC, 2005)

Sebanyak 1,0±0,1 g K2SO4, 40 ml HgO dan dan 2±0,1 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam 0,5 – 1 g sampel. Sampel dididihkan selama kurang lebih 2 jam sampai cairan menjadi jernih kehijau-hijauan. Sampel dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu kjeldahl dibilas dengan 1-2 ml air destilata selama beberapa kali. Sebanyak 8-10 ml larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3 ditambahkan ke dalam sampel. Erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan indikator BCG-MR (campuran bromcresol green dan methyl red) diletakan di bawah ujung kondensor. Sampel didestilasi hingga diperoleh 10-15 ml destilat. Destilat sampel diencerkan hingga 50 ml. Larutan sampel dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N hingga berwarna merah muda. Dilakukan penetapan blanko. Penetapan kadar N dan kadar protein dilakukan dengan persamaan berikut:

Kadar N (%)  =

Kadar protein  =  %N x faktor konversi (brownies 6,25)

f.    Analsis Kadar Karbohidrat (by difference) (Winarno, 1986)

Kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference yaitu dengan perhitungan melibatkan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Berikut ini adalah persamaan yang digunakan dalam menghitung kadar karbohidrat dengan metode by difference.

Kadar karbohidrat (%) = 100% – (% kadar air + %kadar abu + %kadar protein + % kadar lemak)

g.   Analisis Kadar Oksalat (Ross et al., 1999)

Sampel sebanyak 5 gram ditimbang kemudian dimasukan ke dalam labu erlenmeyer 100 ml. Kemudian ditambahkan 50 ml HCl 2M (pH 0.08) untuk analisis total oksalat. Kemudian dipanaskan dalam waterbath pada suhu 800C selama 20 menit. Sampel kemudian dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambah HCl 2M hingga tanda tera. Setelah itu, disentrifuse dengan kecepatan 1400 rpm selama 15 menit. Supernatan dari hasil sentrifuse disaring dengan milipore selulosa asetat 0,45 mikrometer. Kemudian diinjeksikan ke dalam HPLC.

III.  HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komponen Tepung Talas Mentega, Kacang Hijau dan Pisang

Berikut ini adalah hasil karakterisasi kimia yang dilakukan terhadap tepung talas Mentega, kacang hijau dan pisang untuk melihat komponen kimia yang terkandung di dalamnya. Tabel 1 menunjukan hasil analisis komponen kimia yang dilakukan terhadap tepung talas Mentega, kacang hijau dan pisang.

Kadar air tepung talas yang diperoleh adalah sebesar 4,85±0,09%. Kondisi ini sudah memenuhi syarat kadar air yang aman untuk tepung yaitu <14% sehingga dapat mencegah pertumbuhan kapang (Winarno dan Jenie, 1974 di dalam Honestin, 2007; Fardiaz, 1989). Kadar abu yang diperoleh sebesar 2,11±0,05%. Komponen ini tidak mudah menguap pada proses pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Kadar protein yang diperoleh dari tepung talas adalah 5,99±0,13%, sedangkan kadar lemaknya adalah 1,36±0,04%. Komponen yang terbesar adalah kandungan karbohidrat yang mencapai 85,7±0,14%, sedangkan kandungan oksalatnya hanya sebesar 260,07±4,44 ppm.

Tabel 1. Hasil analisis komponen kimia tepung talas Mentega, kacang hijau dan pisang

Komposisi kimia Tepung TalasMentega Kacang. Hijau Pisang
Air (%bb) 4,85±0,09 4,11±0,08 5,64±0,13
Abu  (%bb) 2,11±0,05 3,19±0,08 2,18±0,07
Protein  (%bb) 5,99±0,13 27,45±0,62 3,71±0,09
Lemak  (%bb) 1,36±0,04 1,66±0,04 0,68±0,02
Karbohidrat  (%bb) 85,7±0,14 63,59±0,49 87,80±0,08
Oksalat  (ppm/bb) 260,07±4,44

Tepung kacang hijau yang didapat memiliki kadar air sebesar 4,11±0,08%. Menurut SNI-01-3728, kadar air kacang hijau yang dipersyaratkan adalah maksimal sebesar 10%. Kadar abu tepung kacang hijau adalah sebesar 3,19±0,08%, sedangkan kadar lemaknya sebesar 1,66±0,04%. Kadar karbohidrat tepung kacang hijau adalah sebesar 63,59±0,49% sedangkan kadar protein kacang hijau yang didapat adalah sebesar 27,45±0,62%. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan yang dipersyaratkan oleh SNI-01-3728 yaitu minimal sebesar 23%. Kandungan protein yang terdapat pada bahan pangan baik secara kualitas maupun kuantitas berpengaruh pada daya serapnya terhadap air (Holas dan Tipples, 1978; Finney, 1984; MacRitchie, 1984 di dalam Shahzadi et al., 2005). Menurut Matz (1972) di dalam Shahzadi et al. (2005), peningkatan kadar protein berpengaruh pada peningkatan daya serap air. Hal ini disebabkan terjadinya peningkatan gugus pentosa yang dapat meningkatkan daya ikat terhadap air (Shahzadi et al., 2005).

Tepung pisang memiliki kadar air sebesar 5,64±0,13%. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan syarat SNI-01-3841 yaitu kadar air maksimal 12%. Produk tepung dengan kadar air dibawah 13% stabil terhadap kerusakan selama penyimpanan (Ihekoronye dan Ngoddy, 1985; Daramola dan Osanyilusi, 2006; Hotchkiss dan Potter, 1995; Ukhun dan Ukpebor, 1991; Adeniji et al., 2006). Kadar abu tepung pisang yang didapatkan adalah 2,18±0,07%, sedangkan kadar lemaknya sebesar 0,68±0,02%. Nilai ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Daramola dan Osanyilusi (2006) yang melaporkan bahwa kandungan kadar abu pada tepung pisang berkisar antara 0,55-3,6% sedangkan kadar lemaknya bervariasi antara 0,20-0,85%. Kadar protein yang terdapat pada terpung pisang adalah sebesar 3,71±0,09%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Selvamani et al. (2009) yang mendapatkan nilai kandungan protein pada tepung pisang sebesar 1,05-3,25%. Perbedaan kandungan protein pada tepung pisang disebabkan oleh perbedaan jenis pisang yang digunakan, daerah tanam, cuaca dan kondisi pengeringan. Secara umum, kandungan tertinggi yang terdapat pada tepung pisang adalah karbohidrat yaitu sebesar 87,80±0,08%.

B. Formulasi Tepung Komposit

Pemilihan formula tepung komposit dilakukan berdasarkan aproksimasi komponen kimia dan uji organoleptik. Uji organoleptik dilakukan untuk melihat preferensi panelis terhadap tepung komposit yang dihasilkan. Diharapkan tepung komposit yang dihasilkan merupakan tepung komposit yang sesuai dengan selera konsumen baik dari segi warna, aroma dan teksturnya. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan tepung komposit yang dapat dijual di pasaran.

Berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan, formula yang dengan rangking terendah adalah Formula 4 dengan skor rangking rata-rata 4,01. Formula ini terdiri dari campuran tepung dengan perbandingan tepung talas 50%, tepung pisang 30% dan tepung kacang hijau 20%. Hasil uji organoleptik yang diperoleh terdapat pada tabel 12.

Tabel 12. Uji peringkat 10 formula komposit

Formula Formulasi tepung (%) Parameter uji Skor
Talas Pisang Kc. Hijau Warna Aroma Tekstur Rata-rata
1 80 10 10 7,03c 5,90bc 6,23ac 6,39de
2 60 20 20 5,60abc 4,20a 4,40b 4,73ab
3 90 5 5 6,93c 6,87c 5,97bc 6,59e
4 50 30 20 4,03 a 4,00a 4,00a 4,01a
5 70 10 20 4,87ab 4,77ab 5,70bc 5,11bc
6 80 15 5 4,67ab 6,73c 6,57c 5,99cde
7 50 20 30 5,13ab 4,60ab 5,27abc 5,00abc
8 80 5 15 6,00 abc 6,93c 5,77bc 6,23de
9 60 35 5 5,00ab 5,10ab 5,77bc 5,29bcd
10 70 20 10 5,80bc 5,97bc 5,53abc 5,77bcde

Ket: nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan aproksimasi komponen kimia, Formula 4 diperkirakan memiliki nilai protein sekitar 9,60%. Selain itu, tepung komposit Formula 4 diperkirakan memiliki kandungan lemak sebesar 1,21% dan kandungan oksalat sebesar 130,04 ppm. Kandungan protein pada Formula 4 cukup besar serta kandungan lemak dan oksalatnya cukup rendah.

Hasil organoleptik pada 10 formula yang diuji menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah presentase tepung talas yang digunakan, terlihat adanya kecenderungan panelis semakin tidak menyukai formula tersebut. Semakin rendah presentase tepung talas yang digunakan, panelis semakin menyukai formula tersebut. Hal ini dapat disebabkan pengaruh dari komposisi tepung pisang dan tepung kacang hijau yang digunakan dapat memperbaiki aroma, warna dan tekstur tepung komposit yang dihasilkan.

Data hasil uji organoleptik yang didapatkan kemudian diolah dengan menggunakan uji statistika ANOVA untuk melihat perbedaan signifikan antar sampel pada kategori parameter uji masing-masing. Hasil skor rata-rata yang didapatkan menunjukkan bahwa beberapa formula tidak berbeda nyata.  Formula 4 yang memiliki nilai skor rata-rata yang tidak berbeda nyata dengan Formula 2 dan 7, namun kemudian dipilih Formula 4 sebagai formula yang digunakan karena skor rangkingnya paling rendah. Gambar 19 menunjukkan tepung komposit formula terpilih.

Gambar 19. Tepung komposit formula no 4 (terpilih)

Nilai rangking pada masing-masing parameter uji menunjukkan tingkat kesukaan konsumen terhadap produk. Semakin rendah nilai rangking yang didapatkan, produk semakin disukai. Hasil dari uji organoleptik dilakukan untuk mendapatkan data yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan (Meilgaard et al., 2007).

Formula terpilih memiliki aroma pisang yang disukai panelis dibandingkan dengan aroma tepung lainnya. Hal ini disebabkan jumlah tepung pisang dan kacang hijau yang digunakan lebih besar dibandingkan dengan tepung formula lainnya. Tepung pisang memiliki aroma yang disukai oleh panelis. Warna tepung komposit terpilih adalah kecoklatan. Hal ini disebabkan adanya campuran tepung pisang yang berwarna kecoklatan. Tekstur tepung komposit terpilih lebih kasar dibandingkan dengan tepung tergu. Hal ini disebabkan pada saat proses penepungan digunakan ayakan dengan ukuran partikel yang berbeda dengan tepung terigu.

Menurut Adeyemi dan Ogazi (1985), tepung komposit dapat diartikan sebagai campuran dari berbagai tepung yang berasal dari umbi-umbian, sereal, kacang-kacangan. Shahzadi et al. (2005) melaporkan bahwa penambahan tepung yang berasal dari tanaman polong-polongan dapat  meningkatkan sifat reologi dari tepung. Lebih lanjut, Poongodi dan Mohankumar (2009) melaporkan bahwa penambahan berbagai jenis tepung selain memperbaiki sifat reologi tepung juga dapat meningkatkan nilai gizi produk yang dihasilkan.

Tepung talas telah digunakan dalam berbagai produk pangan diantaranya adalah makanan pendamping ASI, makanan kaleng untuk bayi, snack, mi, roti, dan biskuit (Jane et al., 1992; Lee, 1999; Giami et al., 2004; Bhattacharyya et al., 2005; Torres dan Pacheco–Delahaye, 2007; Aprianita et al., 2009; Ikepeme et al., 2009; Ammar et al., 2009; Noor Azizah dan Komathi, 2009). Hal ini dilakukan sebagai upaya diversifikasi pangan, pemanfaatan sumber pangan lokal serta peningkatan nilai gizi pangan. Penggunaan tepung kacang hijau sebagai tepung komposit dalam pembuatan produk pangan juga telah dilakukan diantaranya adalah dalam pembuatan mi, flakes, dan makanan pendamping ASI (Liu dan Qun, 2006;  Ikepeme et al., 2009; Chong et al., 2008). Sedangkan penggunaan tepung pisang telah banyak dilakukan dalam pembuatan dalam pembuatan roti, mi dan cookies (Mepba et al., 2007, Saifullah et al., 2009; Aparicio-Saguilan et al., 2006).

Menurut Sudha et al. (2007), produk bakeri bervariasi dengan adanya penambahan komposisi pada bahan baku pembuatan. Salah satu komponen yang dapat ditambahkan adalah kandungan serat. Vergara-Valencia et al. (2006) melaporkan bahwa terdapat peningkatan permintaan konsumen terhadap pangan dengan kandungan serat yang tinggi. Penambahan berbagai komponen gizi dan non gizi yang baik untuk kesehatan dapat dilakukan dengan pencampuran tepung dari berbagai sumber bahan pangan (Shittu et al., 2007).

C.  Formulasi Brownies

Formulasi brownies menggunakan tiga faktor yang menjadi variabel perlakuan. Ketiga faktor tersebut terdiri dari tepung komposit, gula, dan dark cooking chocolate. Presentase ketiga faktor ditetapkan secara trial and error. Presentase GMS, susu bubuk skim dan baking powder yang digunakan sesuai dengan formula terpilih dari tahap optimasi bahan penolong dalam pembuatan brownies.

Perlakuan dengan menggunakan ketiga variabel tersebut dilakukan untuk memperoleh hasil brownies yang sesuai dengan kesukaan konsumen. Terdapat 4 formula yang diperoleh dari hasil trial and error dengan menggunakan ketiga variabel tersebut. Tabel 16 menunjukkan hasil rancangan formulasi brownies yang diperoleh dari hasil trial and erorr.

Tabel 16. Formulasi brownies

Bahan A1 A2 A3 A4
Tepung Komposit (g) 90 84 96 112
Telur (g) 234 234 234 234
Gula (g) 120 120 108 108
Dark Cooking Chocolate (g) 24 30 30 24
Cocoa powder (g) 18 18 18 18
Margarin (g) 120 120 120 120

Tepung yang digunakan pada keempat formula uji tersebut adalah sebesar 90 g, 84 g, 96 g, dan 112 g. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh jumlah tepung yang digunakan terhadap penerimaan konsumen pada parameter tekstur, rasa, aroma dan keseluruhan (overall) dari brownies yang dihasilkan.

Penggunaan gula pada formula tersebut adalah sebanyak 108 g dan 120 g. Perbedaan jumlah gula yang digunakan pada formula uji dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap penerimaan konsumen dari segi rasa dan tekstur brownies yang dihasilkan. Selain itu, dilakukan juga perbedaan jumlah dark cooking chocolate yang digunakan, yaitu sebanyak 24 g dan 30 g. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap penerimaan konsumen dari segi rasa, warna dan aroma brownies yang dihasilkan. Gambar 28 menunjukkan empat formula brownies yang dihasilkan dari formulasi brownies.

Gambar 28. Brownies hasil formulasi lanjutan

Keempat formula yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan menggunakan evaluasi sensori untuk mendapatkan formula terpilih. Panelis melakukan penilaian dengan merangking kesukaannya terhadap parameter sensori produk yang diuji (Amerine et al, 1965). Evaluasi sensori dilakukan untuk mengukur, menganalisis dan menginterprestasikan hasil respon panelis terhadap karakreristik produk melalui indera manusia yang menghasilkan persepsi tertentu terhadap produk (Stone dan Sidel, 1993).

D.  Hasil Uji Rangking hedonik Formulasi Brownies

Berdasarkan Febrial (2008), atribut yang penting dalam pengujian sampel brownies berdasarkan survey yang dilakukan meliputi rasa, aroma, tekstur, warna dan keseluruhan (overall). Uji organoleptik yang dilakukan pada pengujian sampel brownies menggunakan uji rangking hedonik. Berikut ini adalah hasil uji rangking yang dilakukan terhadap parameter rasa, warna, aroma, tekstur dan keseluruhan (overall) brownies yang dihasilkan dari 4 formula uji.

1. Rasa

Berdasarkan uji rangking yang dilakukan, diperoleh data jumlah rangking dari atribut rasa brownies formula A1, A2, A3 dan A4 adalah 66, 42, 124 dan 88. Gambar 29 menunjukkan hasil uji rangking terhadap parameter rasa.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 29. Hasil uji rangking (rasa) brownies

Berdasarkan Friedman test, formula A2 merupakan formula yang paling disukai dari segi rasa. Formula ini menggunakan gula sebanyak 120 g dan dark cooking chocolate sebanyak 30 g. Penggunaan komposisi tersebut mempengaruhi rasa khas brownies yang manis dan legit sehingga paling disukai oleh konsumen. Wu et al. (2002) menyatakan bahwa brownies memiliki rasa manis yang kuat dan sedikit rasa pahit dan asin. Semakin banyak jumlah dark cooking chocolate dan gula yang digunakan, kecenderungan panelis untuk menyukai produk semakin tinggi.

2.  Warna

Data yang didapat dari uji rangking kesukaan panelis terhadap parameter warna brownies formula A1, A2, A3 dan A4 adalah 70, 53, 104 dan 92. Gambar 30 menunjukkan hasil uji rangking terhadap parameter warna.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 30. Hasil uji rangking (warna) brownies

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada parameter warna, brownies pada formula A1 dan formula A2 lebih disukai dibandingkan dengan warna brownies pada formula A3 dan A4.  Hal ini disebabkan pada formula A1 dan A2 jumlah gula yang digunakan lebih banyak dibandingkan dengan formula A3 dan A4 sehingga warna brownies yang dihasilkan semakin disukai panelis.

3.  Aroma

Berdasarkan uji rangking yang dilakukan, diperoleh data jumlah rangking dari parameter aroma brownies formula A1, A2, A3 dan A4 adalah 78, 44, 111 dan 87. Gambar 31 menunjukkan hasil uji rangking terhadap parameter warna yang dihasilkan dari 4 formula brownies.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 31. Hasil uji rangking (aroma) brownies

Berdasarkan Friedman test, data yang diperoleh menunjukkan bahwa aroma yang dihasilkan brownies dengan formula A2 merupakan aroma brownies yang paling disukai oleh panelis dengan jumlah rangking terendah yaitu 44. Sedangkan aroma yang paling tidak disukai panelis adalah pada brownies dengan formula A3 dengan jumlah rangking 111. Aroma pada brownies A2 paling disukai karena jumlah dark cooking chocolate yang digunakan lebih banyak dibandingkan degan formula A3 sehingga lebih disukai panelis.

Perbedaan jumlah dark cooking chocolate yang digunakan mempengaruhi aroma brownies yang dihasilkan. Semakin banyak  jumlah dark cooking chocolate yang ditambahkan, panelis cenderung lebih menyukai produk  yang dihasilkan.

4.  Tekstur

Data yang didapat dari uji rangking kesukaan panelis terhadap parameter tekstur brownies formula A1, A2, A3 dan A4 adalah 66, 59, 107 dan 88. Gambar 32 menunjukkan hasil uji rangking terhadap parameter tekstur yang dihasilkan dari 4 formula brownies.

Berdasarkan Friedman test,, jumlah rangking terendah terdapat pada formula A1 dan A2. Hal ini menunjukkan menunjukkan bahwa tekstur brownies formula A1 dan A2 lebih disukai dibandingkan dengan formula A3 dan A4.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 32. Hasil uji rangking (tekstur) brownies

Kecenderungan panelis lebih menyukai formula A1 dan A2 disebabkan jumlah tepung yang digunakan pada formula A1 dan A2 lebih sedikit dibandingkan dengan formula A3 dan A4. Penggunaan jumlah tepung yang terlalu banyak menimbulkan tekstur yang terlalu padat sehingga tidak disukai konsumen.

5.  Keseluruhan (Overall)

Berdasarkan uji rangking yang dilakukan, diperoleh data jumlah rangking dari parameter keseluruhan brownies formula A1, A2, A3 dan A4 adalah 67, 42, 118 dan 93. Gambar 33 menunjukkan hasil uji rangking terhadap parameter keseluruhan (overall) yang dihasilkan dari 4 formula brownies.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 33. Hasil uji hedonik (overall) brownies

Berdasarkan Friedman test, data hasil uji rangking hedonik secara keseluruhan (overall) menunjukkan bahwa formula A2 merupakan formula yang paling disukai oleh panelis dengan jumlah rangking 42. Hal ini disebabkan kombinasi jumlah dark cooking chocolate, tepung dan gula yang sesuai dengan kesukaan panelis.

Pada formula A2 jumlah dark cooking chocolate dan gula yang ditambahkan lebih banyak dibandingkan dengan formula lainnya sehingga rasa, aroma dan warna lebih disukai konsumen. Sedangkan jumlah tepung yang digunakan paling rendah diantara formula lainnya. Hal ini menunjukkan jumlah tepung pada formula A2 merupakan jumlah tepung yang menghasilkan tekstur brownies sesuai dengan selera konsumen.

Berdasarkan hasil uji rangking dari parameter rasa, aroma, tekstur, warna dan keseluruhan (overall), data yang didapat menunjukkan bahwa formula A2 merupakan formula yang paling disukai dari segi rasa, aroma dan keseluruhan (overall). Sedangkan untuk parameter warna dan tekstur, formula ini juga lebih disukai dibandingkan dengan formula lainnya. Formula A2 merupakan formula terpilih dalam tahap formulasi brownies. Formula ini menggunakan 84 g tepung komposit, 234 g telur, 120 g gula, 18 g cocoa powder, 120 g margarin, 30 g dark cooking chocolate, GMS 0,24%, baking powder 0,36%, dan susu bubuk skim 7,32%.

Uji hedonik termasuk ke dalam uji afektif secara kuantitatif dalam evaluasi sensori (Meilgaard et al., 2007). Uji hedonik dilakukan untuk mendapatkan respon berupa penerimaan atau tingkat kesukaan dari panelis mengenai atribut produk (Guinard, 1998). Menurut Meilgaard et al. (2007), warna merupakan salah satu atribut penampilan pada suatu produk yang sering kali menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk tersebut secara lengkap. Rasa makanan sangat ditentukan oleh formulasi produk tersebut (Fellows 2000). Setser (1995) menambahkan bahwa tekstur merupakan parameter kritis pada penampakan, flavor, dan penerimaan keseluruhan dari produk bakeri.

Salah satu jenis uji afektif yang dapat dilakukan secara kuantitatif adalah dengan cara merangking. Uji rangking hedonik digunakan untuk menentukan kesukaan (mutu subjektif) konsumen terhadap produk. Uji ini dilakukan dengan membandingkan kesukaan produk-produk yang diuji  (Stone and Sidel, 1993). Uji ini dilakukan untuk mendapatkan formula terbaik yang paling disukai oleh konsumen. Uji rangking hedonik merupakan uji organoleptik secara kuantitatif yang termasuk ke dalam uji afektif (Lawless dan Heymann, 1999; Meilgaard et al., 2007).

Penyajian sampel yang dilakukan pada uji ini harus bersifat seimbang dengan meminimalkan bias dan dilakukan dengan aturan yang jelas (Chambers dan Wolf, 1996). Selain itu, dalam melakukan uji ini, sedapat mungkin harus dapat mengontrol variabel eksternal seperti perbedaan jumlah dan ukuran sampel yang dapat memberikan dampak terhadap hasil uji yang dilakukan (Chambers and Wolf, 1996). Metode ini cukup mudah dilakukan dan dapat dianalisis secara statistik.

E. Uji Rating Hedonik  Produk Terpilih

Produk terpilih berdasarkan uji rangking hedonik yaitu formula A2 kemudian dilakukan uji penerimaan konsumen atau uji rating hedonik terhadap brownies formula tersebut. Uji penerimaan konsumen mengukur derajat penerimaan konsumen secara spesifik terhadap kesukaan atribut tertentu pada suatu produk yang diujikan (Amerine et al., 1965). Atribut yang diuji dapat berupa warna, rasa, penampakan, tekstur dan sebagainya. Pengujian dengan metode ini dapat menghasilkan data numerik yang dapat dianalisis secara statistik dalam memahami kesukaan konsumen.

Atribut yang dinilai dalam pengujian formula A2 adalah rasa, warna, tekstur, aroma dan penerimaan secara keseluruhan. Data uji rating dapat dilihat pada Gambar 34. Panelis yang digunakan berjumlah 32 orang. Menurut Ressurrection (1998) di dalam Sulistiyo (2006), jumlah panelis minimal yang diperlukan untuk uji afektif di laboratotium adalah sebanyak 25 orang. Skala penilaian yang digunakan berkisar antara 1-5 dimana nilai 1 berarti sangat tidak suka sedangkan nilai 5 berarti sangat suka. Nilai 2, 3, 4 masing-masing berarti tidak suka, netral dan suka.

Gambar 34. Hasil uji rating hedonik sampel terpilih (Formula A2)

Data yang diperoleh menggambarkan bahwa produk dapat diterima secara umum baik dari segi rasa, aroma, warna, tekstur dan secara keseluruhan. Nilai rating rata-rata dari masing masing atribut berkisar antara 3,91 (netral mendekati suka) hingga 4,14 (suka). Nilai rata-rata parameter rasa yang diperoleh adalah 4,14 (suka). Sedangkan nilai rata-rata parameter aroma adalah 3,91 (netral mendekati suka). Nilai parameter warna adalah sebesar 4,06 yang berarti suka sedangkan nilai parameter tekstur adalah 3,97 yang berarti netral mendekati suka. Nilai penerimaan secara keseluruhan sampel ini adalah 4,09 (suka). Brownies hasil optimasi terdapat pada Gambar 35.

Gambar 35. Brownies terpilih hasil formulasi brownies

Brownies yang dihasilkan memiliki struktur yang hampir sama dengan cake. Brownies memiliki pori remah yang seragam dan struktur yang padat pada bagian dalamnya. Produk ini berwarna hitam kecoklatan yang menarik.  Aroma yang dihasilkan  dari brownies adalah aroma coklat yang dominan.

Brownies memiliki struktur yang lembut dan lembab ketika dimakan. Tekstur brownies yang lembut dan rapuh dipengaruhi oleh komposisi gula yang digunakan dan tidak adanya penggunaan gluten pada adonan (Cauvain dan Young, 2006). Cauvain dan Young (2006) menyatakan bahwa produk sejenis cake termasuk sebagai IMF (intermediate-moisture foods) dengan total kadar air lebih rendah 10-20% dari roti. Brownies memiliki rasa manis legit dengan sedikit rasa pahit yang diinginkan dari coklat.

Perbedaan brownies dengan cake adalah brownies memiliki tekstur yang lebih padat dan keras dibandingkan dengan cake. Hal ini dikarenakan brownies tidak memerlukan pengembangan yang dihasilkan oleh gluten. Berat jenis produk sejenis cake bervariasi tergantung komposisi yang digunakan, namun secara umum, berat jenis produk sejenis cake lebih besar dibandingkan dengan roti (Cauvain dan Young, 2006).

Brownies memiliki kulit yang lebih tipis dibandingkan dengan kulit yang terdapat pada roti. Kulit pada produk sejenis cake memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan remahnya. Namun, kesetimbangan kadar air antara kulit dan remah pada produk sejenis cake lebih cepat terjadi dibandingkan dengan yang terjadi pada roti (Cauvain dan Young, 2006). Kulit pada bagian permukaan brownies memiliki tekstur yang lebih keras dan kondisi yang lebih kering dibandingkan dengan remahnya, tetapi permukaan kulit brownies tidak memliki tekstur yang krispi. Permukaan kulit yang memiliki tekstur krispi merupakan karakteristik yang tidak diinginkan pada brownies (Cauvain dan Young, 2006).

F. Hasil Analisis Proksimat Produk Terpilih

Brownies yang dihasilkan dari tahap formulasi brownies adalah brownies formula A2 dengan komposisi 84 g tepung komposit, 234 g telur, 120 g gula, 18 g cocoa powder, 120 g margarin, 30 g dark cooking chocolate, GMS 0,24%, baking powder 0,36%, dan susu bubuk skim 7,32%. Brownies yang dihasilkan kemudian dianalisis proksimat meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat untuk melihat komposisi kimia yang dihasilkan dari produk tersebut. Tabel 17 menunjukkan hasil analisis proksimat yang diperoleh dari brownies formula terpilih (A2).

Tabel 17. Hasil analisis proksimat brownies tepung komposit formula A2

Komponen Jumlah
Kadar Air (%bb) 28,50±0,35%
Kadar Abu (%bb) 1,76±0,02%
Kadar Lemak (%bb) 25,96±0,17%
Kadar Protein (%bb) 8,53±0,15%
Kadar Karbohidrat (%bb) 35,25±0,57%
Kadar Kalori (kkal) 408,76±0,74 kkal

Kadar air produk yang dihasilkan adalah sebesar 28,50±0,35%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan brownies tepung ubi jalar yang dihasilkan oleh Sulistiyo (2006) yaitu sebesar 26,18%. Brownies merupakan produk dengan kandungan air cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena karakteristik teksturnya yang lembut dan lembab. Tingginya kadar air pada brownies menyebabkan brownies memiliki umur simpan yang tidak terlalu lama.

Menurut Sulistiyo (2006), umur simpan produk ini hanya mencapai 3 hari. Produk ini mengalami penurunan kadar air setiap harinya sehingga menyebabkan teksturnya berubah. Kekerasan produk meningkat setiap hari dengan adanya penurunan kadar air. Selain itu, produk ini mulai ditumbuhi mikroba pada hari keempat (Sulistiyo, 2006).

Kadar abu yang diperoleh produk ini adalah sebesar 1,76±0,02%. Komponen ini tidak mudah menguap pada proses pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Kadar abu berisi mineral yang jumlahnya sangat sedikit. Pengujian terhadap kandungan mineral yang terdapat pada produk dilakukan dengan menggunakan abu yang tertinggal dari hasil pembakaran dan pemijaran sampel.

Kadar lemak yang terdapat dalam produk ini adalah sebesar 25,96±0,17%. Kandungan lemak yang terkandung di dalam brownies sebagian besar berasal dari margarin, telur, coklat dan susu bubuk skim. Brownies merupakan produk pangan yang banyak mengandung lemak. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan penyusunnya merupakan bahan yang kandungan lemaknya tinggi. Setiap gram lemak menyumbangkan energi sebesar 9 kkal. Pada brownies yang dihasilkan, kandungan energi yang berasal dari lemak adalah sebesar 233,63±1,56 kkal.

Kandungan protein yang terdapat pada produk yang dihasilkan adalah sebesar 8,53±0,15%. Kandungan protein yang terdapat pada produk ini sebagian berasal dari telur, susu bubuk skim dan tepung komposit. Kandungan protein yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar protein brownies yang diperoleh Sulistiyo (2006) yaitu sebesar 5,54%. Setiap gram protein yang terdapat pada produk menyumbangkan energi sebesar 4 kkal. Pada brownies yang dihasilkan, kandungan energi yang berasal dari protein adalah sebesar 34,12±0,15 kkal.

Kadar karbohidrat yang diperoleh adalah sebesar 35,25±0,57%. Nilai ini didapatkan secara perhitungan dengan metode by difference. Karbohidrat yang terdapat di dalam brownies terdiri dari karbohidrat tercerna dan tidak tercerna. Hal ini didapatkan dari karbohidrat yang terdapat pada bahan-bahan pembentuk brownies yang terdiri dari tepung, gula, coklat, telur dan margarin. Jumlah perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference yang terdapat pada brownies menyumbangkan sebesar 141,01±2,27 kkal dari keseluruhan nilai kalori yang terdapat pada brownies yang dihasilkan.

Kadar kalori yang didapatkan, diperoleh dengan cara perhitungan berdasarkan kadar karbohidrat, protein dan lemak. Nilai yang didapat adalah sebesar 408,76±0,74 kkal. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan brownies terigu yang terdapat pada tabel Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) yaitu sebesar 467 kkal (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, 1972), namun lebih tinggi dibandingkan dengan brownies ubi jalar yang diperoleh Sulistiyo (2006) yaitu sebesar 380,09 kkal.

IV.  KESIMPULAN

Pemilihan 10 formula tepung komposit yang terdiri dari tepung talas Mentega, tepung pisang dan tepung kacang hijau yang dilakukan dengan uji rangking hedonik menghasilkan formula dengan komposisi 50% tepung talas, 30% tepung pisang dan 20% tepung kacang hijau sebagai formula terpilih. Formula tersebut kemudian direformulasi pada formulasi pembuatan brownies dengan variabel perlakuan yang terdiri dari tepung komposit, gula, dan dark cooking chocolate. Terdapat empat formula yang digunakan pada tahap ini. Pemilihan formula yang dilakukan dengan uji rangking hedonik menghasilkan brownies formula A2 sebagai formula terpilih. Formula A2 terdiri dari 84 g tepung komposit, 234 g telur, 120 g gula, 18 g cocoa powder, 120 g margarin dan 30 g dark cooking chocolate, GMS 0,24%, baking powder 0,36%, dan susu bubuk skim 7,32%.

Berdasarkan uji rating hedonik diperoleh data bahwa produk dapat diterima secara umum baik dari segi rasa, aroma, warna, tekstur dan secara keseluruhan. Nilai rating rata-rata dari masing-masing atribut berkisar antara 3,91 (netral mendekati suka) hingga 4,14 (suka). Nilai rata-rata parameter rasa yang diperoleh adalah 4,14 (suka), aroma 3,91 (netral mendekati suka), warna sebesar 4,06 (suka),  tekstur adalah 3,97 (netral mendekati suka) dan nilai penerimaan secara keseluruhan sampel ini adalah 4,09 (suka).

Hasil analisis proksimat produk akhir didapatkan bahwa nilai kadar air brownies yang dihasilkan adalah sebesar 28,50±0,35% (bb), kadar abu 1,76±0,02% (bb), kadar lemak 25,96±0,17% (bb), kadar protein 8,53±0,15% (bb), kadar karbohidrat 35,25±0,57% (bb) dan kadar kalori 408,76±0,74 kkal/100g (bb).

V.  DAFTAR PUSTAKA

  1. Adeniji, TA, LO Sanni,  IS Barimalaa dan AD Hart. 2006. Determination of Micronutrients and Colour Variability among new plantain and banana hybrids flour. World Journal of Chemistry 1 (1): 23-27.
  2. Adeyemi, SAO dan PO Ogazi. 1985. The Place of Plantain in Composite Flour. Commerce Industry, Lagos State, Nigeria.
  3. Amerine, MA, RM Pangborn dan EB Rosseler. 1965. Principles of Sensory Evaluation of Food. Academic Press, New York.
  4. Ammar, MS, AE Hegazy dan SH Bedeir. 2009. Using of taro flour as partial substitute of wheat flour in bread making. World Journal of Dairy & Food Sciences 4 (2): 94-99. IDOSI Publications.
  5. Anonimus. 1973. The First International Mung Bean Symposium. PAG Bull. New York: United Nation 3:14-16.
  6. AOAC. 2005. Official of Analysis of The Association of Official Analytical Chemistry. Arlington: AOAC Inc.
  7. Aparicio-Saguilan, A, SG Sayago-Ayerdi, A Vargas-Torres, J Tovar, TE Ascencio-Otero, dan LA Bello-Perez. 2007.  Slowly digestible cookies prepared from  resistant  starch-rich  lintnerized  banana  starch.   Journal of Food Composition  and Analysis 20: 175-181.
  8. Aprianita, A, U Purwandari, B Watson dan T Vasiljevic. 2009. Physico-chemical properties of fours and starches from selected commercial tubers available in Australia. International Food Research Journal 16: 507-520.
  9. Bakke, A dan Z Vickers. 2007. Consumer liking of refined and whole wheat breads. J. Food Sci., 72: S473–S480.
  10. BaPPeda Bogor. 2008. www.bogorkab.go.id. Diakses 3 Januari 2010.
  11. Bennion, E dan GST Bamford. 1979. The technology of Cake Making. Fifth Ed. Leonard Hill Book. London.
  12. Bhattacharyya, P, U Ghosh, H Gangopadhayay, dan U Raychaudhuri. 2005. Phsyco-chemical characteristic of extruded snack prepared from rice, corn and taro by twin screw extrusion. J. Scientific and Industrial Research. Vol 65 Feb 2006. Pp 165-168.
  13. Cauvain, Stanley P dan Linda S Young. 2006. Baked products : Science, Technology and Practice. Blackwell Publishing Ltd. Garsington Road.
  14. Cauvain, Stanley P dan Linda S Young. 2006. The Chorleywood Bread Process. Woodhead Publishing. Cambridge.
  15. Chambers, Edgar dan MB Wolf. 1996. Sensory Testing Methods: Second Edition.  ASTM. Pennsylvania.
  16. Chong, LC dan AA Noor Azizah. 2008. Influence of Partial Substitution of Wheat Flour with Banana (Musa paradisiaca var. Awak) Flour on the Physico-Chemical and Sensory Characteristics of Doughnuts.
  17. Daramola, B dan SA Osanyilusi. 2005. Production, characterization and application of banana (Musa spp) flour in whole maize. African Journal of Biotechnology Vol. 5 (10), pp. 992-995, 16 May 2006. Available online at http://www.academicjournals.org/AJB.
  18. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan. 1972. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata. Jakarta. 57pp.
  19. Febrial, Eka. 2008. Pengembangan Produk Pangan Fungsional Brownies Kukus dari Tepung Kecambah dan Tepung Tempe Kacang Komak. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
  20. Fellows, PJ. 2000. Food Processing Technology: Principle and Practice. Edisi ke dua. CRC Press. Boca Ranton. England.
  21. Finney, KF. 1984. An optimized, straight–dough, bread–making method after 44 years. Cereal Chem., 61: 20.
  22. Giami, SY, T Amasisi dan G Ekiyor. 2004. Comparison of bread making properties of composite flour from kernels of roasted and boiled African breadfruit (Treculia Africana decne) seeds. J. Mat. Res.1 (1): 16-25
  23. Guinard, JX. 1998. Data collection and analysis methods for consumer testing. 3rd International Food Science and Technology Conference.  p. 504-516.
  24. Holas, J dan KH Tipples. 1978. Factors affecting farinograph and baking absorption. Quality characteristics of flour streams. Cereal Chem., 55: 637–52.
  25. Honestin, Trifena. 2007. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
  26. Hotchkiss  dan   NN  Potter,  1995.  Food  Science 5th Ed. Chapman And Hall Inc. New Yark. pp: 241-243.
  27. Ihekoronye, AI dan PO Ngoddy. 1985.  Integrated  Food  Science  and Technology    for  the  Tropics.  1st  edn.  Macmillan  Publishers  Ltd., London and Basingstaoke. pp. 301 – 302.
  28. Ikpeme-Emmanuel, CA, J Okoi dan NC Osuchukwu. 2009. Functional, anti-nutritional and sensory acceptability of taro and soybean based weaning food. African Journal of Food Science Vol 3.(11) pp. 372-377,  November,  2009.
  29. Jane, J, L Shen, S Lim, T Kasemsuwantt dan WK Nip. 1992. Physical and chemical studies of taro starches and flours. J. Cereal Chemistry, pp: 69.
  30. Lawless, HT dan H Heymann. 1999. Sensory Evaluation of Food: Principles and  Practices. Apsen, Maryland.
  31. Lee, W. 1999. Taro  (Colocasia  esculenta)  [Electronic  Version].  Ethnobotanical Leaflets.
  32. Liu, Q, E Donner, Y Yin, RL Huang dan MZ Fan. 2006 a.  The  physicochemical  properties  and  in  vitro digestibility of  selected  cereals,  tubers,  and  legumes grown in China. Food Chemistry 99: 470-477.
  33. Liu, Wenju, dan Qun Shen. 2006 b. Structure analysis of mung bean starch from sour liquid processing and centrifugation. College of Food Science and Nutritional Engineering, China Agricultural University, Beijing, 100083, China.
  34. MacRitchie, F. 1984. Baking  quality of wheat flours.  Adv. Food Res. 3: 201–7
  35. Matz, Samuel A. 1972. Bakery Technology and Engineering. Second Edition. The Avi Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.
  36. Meilgaard, MC, GV Civille dan BT Carr, 2007.  Sensory Evaluation Techniques, 4th edition. CRC Press, Boca Raton, FL, USA.
  37. Mepba, Horsfall D, Lucy Eboh dan SU Nwaojigwa. 2007. Chemical composition, functional and baking properties of wheat-plantain composite flours. African Journal of Food and Agriculture Nutrition and Development. Volume 7 no 1.
  38. Moreno-Alvarez, MJ, R Hernández, DR Belén–Camacho, CA Medina–Martínez, CE Ojeda–Escalona, dan DM García–Pantaleón. 2009. Making of bakery products using composite flours: Wheat and cactus pear (Opuntia boldinghii Britton et Rose) stems (cladodes). J. PACD (2009) 11: 78–87.
  39. Noor Aziah, AA  dan CA Komathi. 2009. Acceptability attributes of crackers made from different types of composite four. International Food Research Journal 16: 479-482.
  40. Poongodi, Vijayakumar P dan Jemima Beryl Mohankumar. 2009. Formulation and characterization of millet flour blend incorporated composite flour. International Journal of Agriculture Sciences, ISSN: 0975-3710, Volume 1, Issue 2, 2009, pp-46-54.
  41. Rakkar, Pardeep Singh. 2007. Development of a Gluten-free Commercial Bread. Thesis. Auckland University of Technology. Auckland.
  42. Ressurreccion, AV. 1998. Consumer Sensory Testing for Product Development. An Aspen Publisher, Inc. Maryland
  43. Ross, AB, Savage, GP, Martin RJ dan Vanhanen L. 1999. Oxalate in Oca (New Zealand Yam) (Oxalis Tuberosa Mol.). Journal of Agriculture and Food Chemistry 47, pp 5019-5022.
  44. Saifullah, R, FMA Abbas, SY Yeoh dan ME Azhar. 2009. Utilization of green banana flour as a functional ingredient in yellow noodle. International Food Research Journal 16: 373-379.
  45. Selvamani, P, K Manivannan dan  R Jagan Mohan. 2009. Proximate Composition and Pasting Behavior of Starch from Indian Bananas (Musa Spp). Botany Research International 2 (2): 103-106, 2009.
  46. Setser CS. 1995. Sensory Evaluation. Di dalam : Kramel BS dan CE Stauffer (Eds). Advances in Baking Technology. Blakie Academic and Proffesional, Glasgow.
  47. Shahzadi, Naureen, Masood Sadiq Butt, Saleem Ur Rehman dan Kamran Sharif. 2005. Rheological and Baking Performance of Composite Flours. Int. J. Agri. Biol., Vol. 7, No. 1, 2005.
  48. Shittu,  TA, AO Raji dan AO Sanni.  2007.  Effect of  baking  time  and  temperature  on  some  physicalo properties of bread loaf. Food Research International 40(2): 280-290.
  49. Simomnds, NW. 1966. Bananas. Longman. London.
  50. Stone, HL, dan JL Sidel. 1993. Sensory Evaluation Practices, 2nd ed. Academic, San Diego.
  51. Sudha, ML, R Vetrimani dan K  Leelavathi.  2007. Infuence  of  fibre  from  different  cereals  on  the rheological  characteristics  of wheat four  dough  and on biscuit quality. Food Chemistry 100: 1365-1370.
  52. Sulistiyo, CN. 2006. Pengembangan Brownies Kukus Tepung Ubi Jalar di PT. Fits Mandiri Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. IPB.
  53. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
  54. Suprapto, HS dan T Sutarman. 1982. Bertanam Kacang Hijau. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
  55. Torres, E dan E Pacheco–Delahaye. 2007.  Evaluación nutricional, física y sensorial de panes de trigo, yuca y queso llanero. Revista Chilena de Nutrición 34(2): 133–141
  56. Ukhun,  ME dan  IE   Ukpebor. 1991.  Production of instant plantain flour, sensory evaluation and physicochemical changes during storage. Food Chem., 42: 287-299.
  57. Vergara-Valencia, N, E Granados-Pérez, E Agama-Acevedo, J Tovar, J Ruales dan LA Bello-Pérez. 2006. Fibre concentrate from mango fruit : Characterization, associated  antioxidant  capacity  and  application  as  a bakery product  ingredient. Lebensmittel-Wissenchaft und-Technologie 40(4): 722-729.
  58. Widarti, Asih.  2005.  Studi  Eksperimen  Pembuatan  Brownies  dengan Substitusi  Tepung  Pisang,  Skripsi  Jurusan  Teknologi  Jasa  dan Produksi. Fakultas Teknik. Universitas Negeri Semarang.
  59. Winarno, FG. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta
  60. Winarno, FG dan  SL Jenie.  1974. Dasar  Pengawetan,  Sanitasi  dan Peracunan.  Departemen  Teknologi Hasil  Pertanian,  Fatemeta,  IPB. Bogor.
  61. Wu, YV, KL Bett, DE Palmquist, dan DA Ingram. 2002. Sensory analysis of brownies fortified with corn gluten meal. Cereal Chem. 79(4):496–499.

Leave a comment